Kamis, 12 Mei 2011

ARTIKEL: KREDIBILITAS AKADEMIK PENDETA DAN MAJELIS GEREJA

Majelis dan Pendeta mencapai jenjang pendidikan ada tamat SLTP, SMA, Sarjana Muda, Sarjana, Master, Doktor dan sebagian kecil ada yang Professor. Kita patut bangga jika hamba-hamba Tuhan kita mencapai predikatnya masing-masing sesuai dengan status professinya (Sintua, Guru Huria, Bibelvrou, Diakones, Evangelist, Pendeta, dll). Maka kesimpulannya pendidikan itu sangat penting dan dibutuhkan dalam semua aspek pelayanan berjemaat khususnya dalam berteologi. Pertanyaan bagi kita sejauhmana Majelis dan Pendeta layak dipercaya dalam pelayanan? tergantung sipelayanannya apakah dia komit melakukan pelayanannya atau tidak? Bisa saja dia hanya tamat SLTP tapi tugas pelayananya sesuai dengan uraian tugasnya dilakukan dengan baik atau bisa saja dia sudah mencapai sampai gelar Sarjana dalam pelayanan tidak bermoralitas dalam pelayananya. Dia hanya mencari kesempatan dalam kesempitan. “Jemaat itu bisa saja dibuat hanya sapi perahan” Jadi saya tidak bisa menyalahkan sipelayannya tetapi apa yang sedang dillakukan dalam melayani baik di daerah tradisional, trasisi dan modern. Predikat pendidikan tidak menjamin suksesnya dia dalam pelayanan tetapi sesuatu bidang pelayanan harus dilakukan mulai dari hal-hal kecil sampai besar walaupun berdinamika sesuai dengan fungsinya masing-masing. Tapi semangat pelayanan jangan pudar karena Tuhan menjamin suksesnya dalam pelayanan berjemaat.
Pertama: Kredibilitas: Majelis dan Pendeta, mereka sama-sama hamba Tuhan baik ruang lingkup pelayanannya Gereja dan Weyk, Masyarakat dan dunia ini. Maka disanalah sipelayan berkecimpung melakukan pelayanan agar berita kesukaan tersiar keseluruh dunia ini. Tetapi bisa saja ada terjadi hambatan-hambatan. Lalu sikap sipelayan bagaimana? Apakah dia memiliki strategi pelayanan atau membeo dan berkamuflase karena tidak bias mengikuti lalu mulai mengelak dalam pelayanannya. Sebaiknya jangan lari dalam berbagai tantangan dan rintangan yang sedag dihadapinya. Karena konsep pelayanan yang saya tau harus seperti teologi air, disaat ini dihambat tetapi harus melakukan pelayanan itu dengan sungguh-sungguh maka akan ada solusi dari halangan dan tantangan itu. Andalkan Kuasa Tuhan dalam menjalankan pelayanan itu.
Kedua: Jemaat adalah sasaran pelayanan. Jemaatpun harus menyadari bahwa sipelayan itu adalah manusia biasa juga yang memiliki keterbatasan. Walaupun sudah berpredikat sarjana atau Doktor belum tentu semua dikuasai bidang pelayanannya, di sinilah dibutuhkan kerjasama dan sama-sama kerja dalam mengdukung pelayanan itu baik warga dan sesama pelayan. Hati-hati jangan dibiarkan pelayanan itu tidak berjalan gara-gara menunggu system yang baku. Ternyata system itu tidak menjangkau pelayanan itu. Boleh saja kita ambil bagian agar berjalan pelayanan tersebut.
Ketiga: Apa yang sudah disusun dalam aturan bermain HKBP ada yang baik tetapi belum tentu semua menjawab kebutuhan pelayanan. Di sinilah dibutuhkan pertemuan yang intens dalam mediskusikan tindakan nyata melayani sesuai kearifan lokal. Pasti berbeda medan pelayanan berbeda juga kebutuhan yang sedang dilayani. Sipelayan itu harus peka mencermati apa saja yang sedang dibutuhkan oleh umat yang sedang dilayaninya. Jangan memaksanakan kehendak: mungkin karena dianya sebagai uluan (pemimpin). Karena walaupun pendidikan kita sudah tinggi belum tentu semua bidang pelayanan itu kita kuasa (buat waktu dengar pendapat dengan jemaat) tetapi ingat ada buku paket HKBP yang mengatur mekanisme pelayanan kita. Sehingga berjalan sesuai jalur-jalur yang berjiwa peningkatan pelayanan.
Keempat: Kadang-kadang kredibilitas pelayan sudah luntur karena situasi medan pelayanan itu sendiri. Ada seorang pelayan berkata: andaikan saya di tempatkan di kota maka saya akan melakukan pelayanan yang berbasiskan jemaat. Ternyata setelah dia ditempatkan di kota tidak seperti yang diharapkannya terjadi, kesimpulannya jangan bersandiwara dalam pelayanan. Lebih baik muai dari hal-hal yang sederhana tetapi bias berjalan pelayanan itu daripada kamu beranganangan (Berhayal) tetapi tidak menjadi kenyataan. Jauh lebih baik berbuat yang sederhana daripada tidak berbuat sama sekali.
Kelima: berbicara dengan Majelis ini Aturan dan Peraturan HKBP sesuai dengan Amandemen 2010 sudah membuka ruang bahwa semua yang ambil bagian dalam pelayanan sudah diberi kesempatan untuk majelis tetapi yang menbedakan majelis tahbisan dan non tahbisan. Maka tidak ada lagi alasan kita untuk tidak melakukan pelayanan itu secara holistik. Mari kita melayani bersama-sama demi peningkatan pelayanan di gereja kita masing-masing. Sesuai dengan kebutuhan pelayanan dan jangan menafikan pelayanan hal-hal kecil seperti pelayanan kepada anak sekolah Minggu. Sekarang sepepnuhanya dikembalikan kepada pelayan Tahbisan keseriusannya melayani di jemaatnya walaupun berada di jemaat kecil atau jemaat yang besar. Jaga kredilitasmu dihadapan jemaat apalagi dihadaan Tuhan yang memberi kesempatan bagi kita melayani. Maka citra, kredibilitas, khararter dan dedikasi bagian integral si Pelayan dalam pelayanannya. Kiranya pertolongan Tuhan yang menolong kita masing-masing. Ingat sehebat apapun predikat pendidikanmu sangat menolong dipelayanan tetapi motto hidupmu harus: LONG LIFE EDUCATION (Belajar tidak mengenal usia: belajar seumur hidup).

(Penulis adalah Pdt. Haposan Sianturi, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Mei 2011)